Back to top

Sebuah Pertanyaan Untuk Sejarah

Sebuah Pertanyaan Untuk Sejarah

Lewat analisis gathuk-gathukan, kita dapat menemukan beda kentara antara sejarah dan memori. Kata “history”, yang berarti “sejarah” di bahasa Inggris, mengandung awalan “his” yang merupakan kata kepemilikan untuk orang ketiga. Sementara, kata “memory”, yang berarti “memori” atau “ingatan”, dimulai oleh “me” yang merupakan kata kepemilikan untuk orang pertama. Singkat kata, dari kebetulan yang sekadar diada-adakan saja itu, sejarah adalah kepunyaan “dia”, sedangkan memori adalah kepunyaan “saya”.

 

Kedua awalan itu rupanya cukup jitu dalam menerangkan beda arti sejarah dan memori. Sejarah, sebagai suatu rekonstruksi masa lalu, disusun oleh para sejarahwan dengan seobjektif dan secermat mungkin. Sebab itulah sejarah lalu dapat dianggap sahih dan universal—milik semua orang. Tetapi di saat bersamaan, jarak yang tercipta akibat objektivitas dan rasionalitas dalam merekonstruksi masa lalu membuat sejarah bukan milik siapa-siapa. Ia menempel pada waktu-waktu, tetapi ia tidak menubuh (embodied) pada individu-individu.

 

Sebaliknya memori, yang subjektif, kontekstual, dan partikular, dimiliki oleh masing-masing orang yang mengakunya. Itu sebabnya memori terasa personal sekaligus intim. Ia organik, bertumbuh terus-menerus setiap kali pemiliknya mengingat, melupa, dan mengingat lagi. Memori juga berakar pada hal-hal konkret—tempat, benda, gambar, dan lain-lain—yang dicerapi melalui pengalaman inderawi, sehingga ia menubuh. Tetapi memori tidak serta-merta individual. Maurice Halbwach, dalam bukunya On Collective Memory (1992), menerangkan bahwa memori individu tidak bisa dikurung di dalam diri individu itu sendiri. Ia akan selalu bersinggungan dengan memori-memori individu lainnya sehingga mewujud menjadi memori kolektif. Memori lantas menjadi terikat pada “saya” sekaligus pada komunitas tertentu yang berbagi memori serupa.

 

Meskipun saling bahu-membahu dalam membangun narasi pengetahuan masa lalu—sejarah memberikan validasi pada memori, sementara memori menambahkan kedalaman pada sejarah—keduanya, tulis Pierre Nora, sejarahwan Perancis, dalam esainya “Between Memory and History: Les Lieux de Mémoire” (1989), tidak selalu akur. Memori, yang cenderung spontan dan naluriah, di satu sisi sulit untuk diiyakan kesahihannya, tetapi di sisi lain melekat rekat pada individu maupun komunitas. Kemewahan itu tidak dimiliki oleh sejarah. Itu sebabnya, menurut Nora, sejarah kerap mengsubordinasi memori dan memunculkan lieux de mémoire (sites of memory). Memori dimaterialisasi menjadi penanda ingatan masa lalu, tetapi di bawah kendali sejarah. Hari peringatan dan monumen, misalnya, adalah situs memori yang dibebani kewajiban untuk mengingat masa lalu, tetapi ingatan yang lalu tidak lagi spontan dan naluriah. Demikian juga obsesi-obsesi pengarsipan, yang mendelegasikan kewajiban mengingat pada rekaman-rekaman teks, gambar, audio, dan lainnya, adalah lieux de mémoire dan bukan milieux de mémoire (real environments of memory).

 

Di sini poin penting Nora: “semakin sedikit memori diresapi dari dalam, semakin banyak ia hadir melalui penyangga-penyangga eksterior dan penanda-penanda luar... Apa yang kita lantas sebut memori pada akhirnya adalah gudang gigantis berisikan stok material yang membuat kita mustahil untuk mengingat.” Ditambah teknologi alat rekam yang semakin canggih, obsesi untuk mengingat itu membuat kuantitas materialisasi memori yang kita miliki semakin berlipat ganda.

 

Ambil contoh saat kita bertamasya. Semakin ke sini, kita semakin tidak bisa tidak mengambil gambar. Dengan maksud mengabadikan memori, kita terus-menerus memotret dengan kamera digital dan ponsel pintar. Kita tak lupa pula meng-update lini kini laman macam-macam media sosial. Akhirnya sudah demikian sulit bagi kita untuk menghayati perjalanan dengan utuh dan tanpa beban untuk merekam. Hasrat mengabadikan memori itu di satu sisi menghasilkan berjubel dokumen gambar dan teks di komputer yang entah kapan mau kita tengok lagi, sementara di sisi lain hanya menyisakan sesuwir memori yang sesungguhnya.

 

Saya bukan orang yang tepat untuk menceritakan sejarah Kota Tua. Namun setidaknya saya bisa menceritakan memori saya yang campur aduk mengenai tempat ini, terutama mengenai Taman Fatahillah yang saban-saban saya lewati dan kunjungi.

 

Saya ingat betul, ketika pertama kalinya melihat Taman Fatahillah di awal tahun 2007, tempat itu sedang berbenah. Saya hanya sekadar lewat karena hendak naik kereta dari Stasiun Kota menuju Depok. Saat itu, saya tidak terlalu tertarik dengan tempat itu, karena memang saya tidak tahu apa-apa soal Kota Tua dan tidak memiliki kenangan apapun di tempat tersebut.

 

Semasa kuliah, saya semakin sering melewati Taman Fatahillah untuk bepergian, baik ketika hendak naik kereta atau Bus Transjakarta. Rupanya pascarevitalisasi di masa Sutiyoso itu, Kota Tua menjadi ruang publik yang cukup asyik, terutama berkat konversi jalur mobil menjadi jalan untuk pedestrian. Taman Fatahillah ketika itu masih tidak ramai orang berjualan. Saya mulai sering duduk-duduk di sana untuk sekadar santai sejenak sambil mengamati orang-orang yang bersepeda, bermain bola, hingga memadu cinta dengan latar bangunan-bangunan tua. Di tengah sesaknya ibukota, taman ini sungguh segelas jus buah yang melegakan dahaga. Ia celah kecil tempat saya bisa menikmati waktu berlalu di tengah kota di mana waktu berlalu sedemikian cepatnya hingga tak mungkin bisa dinikmati dengan selow.

 

Di masa Fauzi Bowo, Taman Fatahillah berkembang jadi ruang berdagang yang tak keruan. Seisi taman itu diisi tenda-tenda biru yang menjual macam-macam barang: makanan, baju, cincin, sepatu, telepon, tato, dan segalanya. Setiap kali saya mau menuju stasiun, saya mesti berliku-liku untuk bisa melewati taman tersebut. Pernah satu kali saya berhenti untuk makan malam dan saya dihampiri oleh setidaknya lima pengamen, satu di antaranya meneriaki saya karena saya tidak memberi apa-apa.

 

Taman Fatahillah agak membaik semasa Jokowi jadi gubernur. Taman itu ditata ulang. PKL tetap diizinkan berjualan, tetapi di titik-titik yang telah ditentukan. Jakarta Old Town Revitalization Corp (JOTRC), konsorsium swasta yang bertujuan mengembangkan Kota Tua sebagai Zona Ekonomi Khusus, didirikan. Konsorsium ini menginisiasi revitalisasi bangunan-bangunan tua di Kota Tua. Lantai dua Gedung Kantor Pos, misalnya, dijadikan Galeri Fatahillah (2014). Pada 2015, Tjipta Niaga dan Dharma Niaga, tempat pameran Waktu Adalah Ruang berlangsung (2015), juga akan direvitalisasi oleh konsorsium ini. Kafe-kafe baru, seperti Kedai Seni Djakarte, Historia Food and Bar, dan Bangi Kopitiam, satu persatu bermunculan, sehingga Cafe Batavia, yang tak begitu ramah dengan dompet saya, tidak lagi sendirian.

 

Saya juga berkenalan dengan orang-orang dari Local Working Group (LWG) – Destination Management Organization Kota Tua, sebuah organisasi yang diinisasi Kementerian Budaya dan Pariwisata dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak 2011. Organisasi ini membuat jejaring antar komunitas setempat seperti penjaja sepeda onthel dan komunitas manusia batu agar mereka dapat bersinergi. Salah satu kontribusi positif mereka adalah membuat Perpustakaan Taman Fatahillah (2014) yang memiliki koleksi masif buku-buku mengenai Kota Tua dan sejarah Jakarta. Perpustakaan itu dijalankan oleh mereka secara swadaya, diadakan di bawah struktur tenda yang temporer setiap hari libur.

 

Berbagai acara yang diadakan di Kota Tua semakin beragam. Jakarta Endowment For Art and Heritage (JEFORAH), mengadakan Fiesta Fatahillah, sebuah festival kuliner, pada 2014 di Taman Fatahillah, dan pameran-pameran seni di Galeri Fatahillah. Indonesia Diaspora Network mengadakan Kota Tua Creative Festival dengan memanfaatkan bangunan-bangunan tua yang tidak terpakai serta membuat instalasi publik di Taman Fatahillah (2014). WatchdoC mengadakan pemutaran “Yang Ketu7uh”, film dokumenter mengenai Pilpres 2014, juga di Taman Fatahillah (2014). Ruangrupa mengadakan Jakarta32ºC, pameran tahunan karya seni rupa mahasiswa se-Jakarta, di beberapa titik di Kota Tua (2014). UNESCO membuat pameran Kisah Konservasi yang mengulas karya-karya arsitektur indonesia pemenang UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation (2014).

 

Hal-hal yang saya sebut di atas tentu saja penuh bias subjektif. Acara-acara yang saya sebut memang pernah saya datangi langsung; banyak acara lain seperti konser musik, pertunjukan wayang, dan perayaan macam-macam yang berada di luar ingatan saya. demikian juga dengan kafe-kafe baru yang saya utarakan adalah tempat yang cukup nyaman bagi saya untuk menghabiskan waktu, tidak termasuk warung nasi padang atau soto ayam yang luput dari jejak kaki saya. Tetapi, memang demikianlah modus operandi dari memori: tidak ada memori satu individu yang akan sama persis dengan individu lainnya.

 

Bahkan memori bisa begitu berlawanan. Hal ini kentara ketika beberapa kali saya mengajak teman ke Kota Tua. Bayangan mereka mengenai Kota Tua adalah tempat yang tidak nyaman, sumpek, kumuh, panas, dan segala macam yang membuat mereka enggan datang. Jika Kota Tua dikehendaki menjadi ruang publik yang nyaman, maka hal itu jelas masih jauh dari memori kolektif warga Jakarta. Semangat menata Kota Tua sendiri seperti pasang surut. Belakangan ketika saya ke Kota Tua, pedagang-pedagang kembali marak lagi di titik-titik yang sebetulnya padat sirkulasi pedestrian, sehingga mengganggu kenyamanan pejalan kaki.

 

Padahal, peran memori dalam arsitektur dan kota tidak remeh. Dalam konteks Jakarta, misalnya, Abidin Kusno, dalam buku Ruang Publik, Identitas & Memori Kolektif, menyebut pentingnya memori menakutkan tentang jalan di ibukota untuk mempercepat perkembangan pusat-pusat perbelanjaan di dalam gedung yang memerdekakan pengunjung dari pengalaman di jalan Jakarta yang kata banyak orang itu “keras, bung!” Mal-mal lalu sukses melenggang menjadi memori kolektif bagi sebagian besar warga Jakarta: generasi muda, pembantu-pembantu, ibu-ibu rumah tangga, supir-supir, dan penjaga toko. Baik tidaknya hal demikian memang perlu dikaji dengan kritis dan sebaiknya dibahas di lain tulisan.

 

Sebagai ruang publik, Kota Tua memiliki peran strategis dalam membentuk memori kolektif warga Jakarta. Apalagi tempat (place) memang memiliki relasi yang kental dengan memori. Di satu sisi, memori begitu menjangkar pada tempat. Metode mengingat yang paling banyak digunakan para juara dunia olimpiade memori adalah dengan menggunakan memory palace, yaitu memvisualisasi tempat di dalam pikiran lalu menempatkan hal-hal yang hendak diingat di tempat tersebut. Di sisi lain, memori adalah salah satu aspek krusial dalam pembentukan tempat (placemaking). Memori kolektif yang positif akan membuat warga memiliki rasa kepemilikan yang kuat akan tempat tersebut. Tak heran, dalam The Seven Lamps of Architecture (1849), John Ruskin, kritikus seni, menyebut memori, dan bukan sejarah, sebagai satu dari tujuh prinsip fundamental untuk menciptakan arsitektur yang yahud.

 

Tetapi Kota Tua juga adalah lieux de mémoire. Sejarah masa kolonial yang kental pada tempat ini membuat kita membebani fisik Kota Tua untuk mengingat masa lalu. Setidaknya 80 bangunan di Kota Tua diberi label cagar budaya demi menjaga keutuhan sejarahnya. Beberapa memiliki label cagar budaya kelas A, yang artinya bangunan itu sama sekali tidak boleh berubah baik fisik maupun organisasi ruangnya. Upaya konservasi dengan mengembalikan fisik bangunan seperti sedia kala menjadi fokus orientasi dari hampir setiap upaya konservasi di Kota Tua, semenjak zaman Ali Sadikin (“Kompleks Taman Fatahillah Akan Berwadjah Abad XVIII”, Kompas 20 Februari 1971) hingga Basuki Tjahaja Purnama (“Ahok Sebut 27 Gedung di Kota Tua Direvitalisasi Seperti Wujud Awal”, Kompas.com, 17 April 2015) . Kecuali perubahan jalur mobil menjadi jalur pedestrian pada 2007, maka konservasi Kota Tua dapat dikatakan minim inovasi.

 

Kita sesungguhnya tidak lupa untuk melestarikan sejarah. Tetapi, yang saya kira hal yang jauh lebih penting dari merawat sejarah yang dulu adalah memikirkan memori apa yang ingin kita hadirkan sekarang dan bagaimana menghadirkannya. Dengan begitu, pelestarian warisan-warisan sejarah dapat dilakukan dengan kritis, tidak sekadar sebagai beban untuk mengingat, melainkan sebagai bagian utuh dari memori kita sekarang—milieux de mémoire.